Assalamualaikum wr wb
lanjut nihh ke post selanjutnya, tentang utang negara, kalau kita tidak ingin mengetahui apa yang negara kita sedang alami berarti kita tidak cinta terhadap negara hehe , pada kesempatan kali ini sedikit membahas utang negara kita nihh biar lebih tau. langsung aja :D
Petugas Sudin Pajak Jakarta Selatan memasang stiker pemberitahuan utang
pajak di Killiney Kopitiam, Pondok Indah Mall 2, Jakarta, Selasa
(6/9/2016). Pemerintah akan melakukan penyegelan terhadap objek pajak
berupa restoran, hotel, serta tempat hiburan yang belum juga melunasi
utangnya setelah dipasangi stiker utang pajak.
Postur anggaran jadi sorotan. Jelang akhir tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terancam jebol karena terbebani oleh utang.
Per 31 Agustus 2016, pemerintah diketahui telah melakukan penarikan utang neto hingga 101 persen dari target APBN 2016 yang senilai Rp364 triliun. Sementara utang bruto yang telah ditarik mencapai 89 persen dari target Rp611 triliun.
Utang neto adalah utang untuk membiayai APBN. Utang bruto adalah utang APBN ditambah dengan utang untuk membayar pokok utang jatuh tempo pada tahun berjalan.
Hingga Juli 2016, total utang pemerintah pusat mencapai Rp3.362,74 triliun. Bahkan, jika dibagi secara rata-rata kepada 250 juta penduduk, maka setiap penduduk dibebankan utang sekitar Rp16 juta.
Angka tersebut diprediksi terus meningkat. Dalam nota RAPBN 2017, pemerintah berencana menarik utang kembali untuk menutup defisit sebesar Rp332,8 triliun rupiah. Sementara dalam periode 2011-2015, cicilan pokok dan bunga utang yang telah dibayarkan sebesar Rp1.527,118 triliun.
Dan, diperkirakan pada 2016, kewajiban utang yang akan dibayarkan mencapai Rp480,324 triliun rupiah yang terdiri atas bunga utang Rp184 triliun dan cicilan pokok Rp295 triliun.
Menteri Keuangan yang baru ditunjuk pun dituntut untuk bisa mencari solusi atas permasalahan ini. Pasalnya, langkah pemotongan anggaran belanja negara senilai Rp137,6 triliun ini dilakukan oleh Sri Mulyani tak lama setelah menjabat, dinilai tidak akan cukup efektif untuk menangkal pelebaran defisit.
Meski, langkah itu diambil untuk menjaga defisit tidak lebih dari 2,55 persen dari produk domestik bruto (PDB). Di sisi lain, Sri Mulyani juga belum berencana untuk melakukan pemotongan anggaran lanjutan untuk mempersempit ruang defisit.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan dalam VIVA, mengatakan utang yang semakin besar itu menjadi sebab rusaknya APBN yang disusun pemerintah. Tragisnya, lanjut Heri, utang digunakan untuk membayar bunga cicilan itu tidak terasa pada pembangunan.
"GINI ratio bertambah, kemiskinan mencapai 28 juta orang. Bahkan, data terakhir, terjadi pengurangan 200 ribu orang yang bekerja di sektor pertanian. Sektor yang seharusnya produktif," katanya.
Layaknya gali lobang, tutup lobang, sambung Heri.
Salah satu harapan pemerintah untuk menutup defisit saat ini adalah melalui penerimaan dari uang tebusan program amnesti pajak. Beberapa pihak memperkirakan 60 persen peserta ikut periode pertama. Uang tebusannya akan mencapai 80 persen dari total tebusan sampai dengan akhir periode.
Kementerian Keuangan sebelum era Sri Mulyani menargetkan uang tebusan sampai dengan akhir 2016 senilai Rp165 triliun. Repatriasinya mencapai Rp1.000 triliun. Sementara Bank Indonesia (BI) pada awalnya memproyeksikan realisasi tebusan senilai Rp53,4 triliun. Adapun repatriasi sebesar Rp560 triliun.
Apa mau dikata, harapan berbeda jauh dengan kenyataan. Hingga hari ini, Selasa (13/9/2016) atau di akhir periode pertama program ini, uang tebusan baru mencapai 5,5 persen atau senilai Rp9,10 triliun.
Kenyataan itu juga yang membuat Bank Indonesia menjadi pesimistis. KOMPAS melaporkan, Gubernur BI, Agus DW Martowardojo, memproyeksikan penerimaan uang tebusan sampai akhir tahun hanya Rp18 triliun.
Adapun penerimaan pada periode Januari hingga Maret 2017 senilai Rp3 triliun. Sementara repatriasinya hanya Rp180 triliun.
Beda masa Sri Mulyani
Kondisi anggaran negara saat ini tidak lagi sama dengan saat Sri Mulyani menjabat pada periode 2005-2010 pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Salah satu perbedaan yang menonjol adalah kas pemerintah selalu defisit karena belanja negara yang lebih besar dari penerimaannya sepanjang tahun berjalan.
Ibaratnya, begitu ada uang masuk dari pajak atau penerimaan lainnya, dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur. Dampaknya, pemerintah selalu berjaga-jaga mencari utang guna menutup defisit anggaran.
Sebab, jika tak dapat utang, anggaran negara benar-benar terancam, bisa-bisa anggaran rutin tak terbayar tepat waktu.
Per Juni 2016 misalnya, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp634,7 triliun. Terjadi defisit sebesar Rp230,7 triliun.
Sementara semester I tahun 2006, realisasi penerimaan negara mencapai Rp229,11 triliun sedangkan belanjanya sebesar Rp215,27 triliun. Artinya, ada uang kas sebesar Rp13,84 triliun di laci meja Menkeu yang bukan uang utang.
Begitu pula dengan semester I tahun 2007, saat realisasi penerimaan sebesar Rp260,65 triliun dan belanja Rp237,02 triliun, yang berarti ada surplus Rp23,63 triliun.
Kondisi tahun 2008 dan 2009 pun sama, selalu ada uang kas yang bukan berasal dari utang di laci meja pemerintah.
Kondisi ekonomi tak stabil
Perlu diakui, penerimaan negara memang sedang tidak mulus dalam dua tahun terakhir. Penyebabnya adalah kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.
Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).
Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan melambatnya penyaluran kredit perbankan, yang per Juni 2016, hanya tumbuh 9 persen setahun. Padahal normalnya, pertumbuhan kredit mencapai 20 - 25 persen per tahun.
Lesunya perekonomian tentu berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun akhirnya memengaruhi pajak yang mereka bayar. Buktinya, realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 hanya sebesar Rp1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp1.550,1.
Namun, penyebab utama turunnya pendapatan negara adalah anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pada tahun 2015, PNBP hanya Rp 252,4 triliun, turun 37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 398,54 triliun. Kejatuhan harga minyak dan komoditas SDA lainnya membuat PNBP turun drastis.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...erus-bertambah
Postur anggaran jadi sorotan. Jelang akhir tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terancam jebol karena terbebani oleh utang.
Per 31 Agustus 2016, pemerintah diketahui telah melakukan penarikan utang neto hingga 101 persen dari target APBN 2016 yang senilai Rp364 triliun. Sementara utang bruto yang telah ditarik mencapai 89 persen dari target Rp611 triliun.
Utang neto adalah utang untuk membiayai APBN. Utang bruto adalah utang APBN ditambah dengan utang untuk membayar pokok utang jatuh tempo pada tahun berjalan.
Hingga Juli 2016, total utang pemerintah pusat mencapai Rp3.362,74 triliun. Bahkan, jika dibagi secara rata-rata kepada 250 juta penduduk, maka setiap penduduk dibebankan utang sekitar Rp16 juta.
Angka tersebut diprediksi terus meningkat. Dalam nota RAPBN 2017, pemerintah berencana menarik utang kembali untuk menutup defisit sebesar Rp332,8 triliun rupiah. Sementara dalam periode 2011-2015, cicilan pokok dan bunga utang yang telah dibayarkan sebesar Rp1.527,118 triliun.
Dan, diperkirakan pada 2016, kewajiban utang yang akan dibayarkan mencapai Rp480,324 triliun rupiah yang terdiri atas bunga utang Rp184 triliun dan cicilan pokok Rp295 triliun.
Menteri Keuangan yang baru ditunjuk pun dituntut untuk bisa mencari solusi atas permasalahan ini. Pasalnya, langkah pemotongan anggaran belanja negara senilai Rp137,6 triliun ini dilakukan oleh Sri Mulyani tak lama setelah menjabat, dinilai tidak akan cukup efektif untuk menangkal pelebaran defisit.
Meski, langkah itu diambil untuk menjaga defisit tidak lebih dari 2,55 persen dari produk domestik bruto (PDB). Di sisi lain, Sri Mulyani juga belum berencana untuk melakukan pemotongan anggaran lanjutan untuk mempersempit ruang defisit.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan dalam VIVA, mengatakan utang yang semakin besar itu menjadi sebab rusaknya APBN yang disusun pemerintah. Tragisnya, lanjut Heri, utang digunakan untuk membayar bunga cicilan itu tidak terasa pada pembangunan.
"GINI ratio bertambah, kemiskinan mencapai 28 juta orang. Bahkan, data terakhir, terjadi pengurangan 200 ribu orang yang bekerja di sektor pertanian. Sektor yang seharusnya produktif," katanya.
Layaknya gali lobang, tutup lobang, sambung Heri.
Salah satu harapan pemerintah untuk menutup defisit saat ini adalah melalui penerimaan dari uang tebusan program amnesti pajak. Beberapa pihak memperkirakan 60 persen peserta ikut periode pertama. Uang tebusannya akan mencapai 80 persen dari total tebusan sampai dengan akhir periode.
Kementerian Keuangan sebelum era Sri Mulyani menargetkan uang tebusan sampai dengan akhir 2016 senilai Rp165 triliun. Repatriasinya mencapai Rp1.000 triliun. Sementara Bank Indonesia (BI) pada awalnya memproyeksikan realisasi tebusan senilai Rp53,4 triliun. Adapun repatriasi sebesar Rp560 triliun.
Apa mau dikata, harapan berbeda jauh dengan kenyataan. Hingga hari ini, Selasa (13/9/2016) atau di akhir periode pertama program ini, uang tebusan baru mencapai 5,5 persen atau senilai Rp9,10 triliun.
Kenyataan itu juga yang membuat Bank Indonesia menjadi pesimistis. KOMPAS melaporkan, Gubernur BI, Agus DW Martowardojo, memproyeksikan penerimaan uang tebusan sampai akhir tahun hanya Rp18 triliun.
Adapun penerimaan pada periode Januari hingga Maret 2017 senilai Rp3 triliun. Sementara repatriasinya hanya Rp180 triliun.
Beda masa Sri Mulyani
Kondisi anggaran negara saat ini tidak lagi sama dengan saat Sri Mulyani menjabat pada periode 2005-2010 pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Salah satu perbedaan yang menonjol adalah kas pemerintah selalu defisit karena belanja negara yang lebih besar dari penerimaannya sepanjang tahun berjalan.
Ibaratnya, begitu ada uang masuk dari pajak atau penerimaan lainnya, dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur. Dampaknya, pemerintah selalu berjaga-jaga mencari utang guna menutup defisit anggaran.
Sebab, jika tak dapat utang, anggaran negara benar-benar terancam, bisa-bisa anggaran rutin tak terbayar tepat waktu.
Per Juni 2016 misalnya, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp634,7 triliun. Terjadi defisit sebesar Rp230,7 triliun.
Sementara semester I tahun 2006, realisasi penerimaan negara mencapai Rp229,11 triliun sedangkan belanjanya sebesar Rp215,27 triliun. Artinya, ada uang kas sebesar Rp13,84 triliun di laci meja Menkeu yang bukan uang utang.
Begitu pula dengan semester I tahun 2007, saat realisasi penerimaan sebesar Rp260,65 triliun dan belanja Rp237,02 triliun, yang berarti ada surplus Rp23,63 triliun.
Kondisi tahun 2008 dan 2009 pun sama, selalu ada uang kas yang bukan berasal dari utang di laci meja pemerintah.
Kondisi ekonomi tak stabil
Perlu diakui, penerimaan negara memang sedang tidak mulus dalam dua tahun terakhir. Penyebabnya adalah kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.
Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).
Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan melambatnya penyaluran kredit perbankan, yang per Juni 2016, hanya tumbuh 9 persen setahun. Padahal normalnya, pertumbuhan kredit mencapai 20 - 25 persen per tahun.
Lesunya perekonomian tentu berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun akhirnya memengaruhi pajak yang mereka bayar. Buktinya, realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 hanya sebesar Rp1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp1.550,1.
Namun, penyebab utama turunnya pendapatan negara adalah anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pada tahun 2015, PNBP hanya Rp 252,4 triliun, turun 37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 398,54 triliun. Kejatuhan harga minyak dan komoditas SDA lainnya membuat PNBP turun drastis.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...erus-bertambah